Jumat, 04 Juni 2010

Membangun lagi bumi tempat berpijak

BADAI bisa berlalu, tetapi kerusakan bumi ditinggalkannya begitu saja. Kita boleh masih berkabung. Namun, sambil meratapi semua yang hilang dan mengobati luka-luka kita sudah harus memikirkan bagaimana cara memulihkan kembali keadaan di Aceh dan daerah lain korban bencana alam menjadi seperti sediakala. Ada tiga kondisi minimum yang diperlukan suatu masyarakat untuk tetap cekatan dan mampu survive.
Pertama, harus ada pengakuan terhadap kepentingan umum yang melampaui kepentingan-kepentingan pribadi dan individual dan warga masyarakat memang punya keinginan bersama untuk mempertahankan dan mendorong kepentingan seperti itu.
Kedua, ada konsep beserta satu set aturan, prosedur, dan nilai yang relevan, yang diterima warga sebagai credible untuk menetapkan dan/atau mengubah apa-apa yang mereka anggap merupakan konstituan dari kepentingan umum dalam konteks kehidupan bermasyarakat mereka.
Ketiga, ada orang atau kelompok atau lembaga yang dianggap kapabel untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang melindungi dan memuaskan kepentingan umum yang telah disepakati.

KONDISI pertama kiranya telah terpenuhi. Pemerintah telah menyatakan komitmen untuk merekonstruksi dan merehabilitasi Aceh dan sebagian Sumatera Utara yang diporakporandakan gempa dan gelombang tsunami. Orang-orang Aceh sendiri yang relative paling menderita, dimana pun mereka berada, dan seluruh warga Indonesia juga bertekad untuk melakukan hal itu. Bantuan pun mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air dan dunia sebagai tanda simpati serta kepedulian manusiawi.
Kondisi kedua kelihatannya belum begitu pasti. Pemerintah memang telah menyiapkan satu rencana pembangunan jangka menengah, tetapi bagaimana pikiran konseptual yang mendasari-nya bagi orang yang berada di luar lingkungan penguasa tidak jelas. Berkaitan dengan itu ada baiknya dipertimbangkan ide pembangunan dalam artian ruang sosial (development in terms of social space).
Pikiran ideal ini sudah pernah saya paparkan asas-asasnya di harian ini (Kompas, 27/9/2004) dalam konteks pembangunan demokrasi, kemudian disinggung sedikit dalam konteks pembangunan nasional (Kompas, 27/10/2004). Karena itu, tidak akan diulang dalam kesempatan ini. Yang akan diketengahkan sekarang adalh pertimbangan mengapa “bumi” dinyatakan begitu eksplisit dalam penalaran pembangunan tersebut.

KONSEP pembangunan dalam artian ruang sosial sama sekali tidak mengabstrakkan ruang bumi (earth space) seperti yang selama ini dilakukan oleh bebrbagai teori pembangunan ekonomi, baik di Capitalist West maupun Socialist East. Padahal, sekarang masalah geografi semakin menyibukkan diskusi publik meskipun tidak selalu disebut begitu : dari transmigrasi hingga mondialisasi melalui urbanisasi dan lokasi/relikasi proyek pembangunan, semakin banyak masalah kontemporer yang terkait dengan penguasaan ruang.
Akibat-akibat dari abstraksi tersebut, yang pasti merupakan suatu kekeliruan, bermunculan di sana-sini berupa pembabatan hutan yang akhirnya berdampak pada kekurangan persediaan air tanah dan banjir di dataran rendah, perubahan penggunaan sawah produktif menjadi lapangan golf, kompleks industri/bisnis, urbanisasi dari penduduk desa yang tercampak dari ruang kampong halamannya, dari bumi tempatnya berpijak.
Sejauh yang mengenai istilah “ruang sosial”, pengertiannya mengandung dua unsur: material(natural place) dan nonmaterial (social relationships). Sebagai tempat, sebuah “ruang” bernilai tidak sebatas keadaan obyektifnya selaku basis material dari eksistensi manusia untuk bermukim, berkarya, bergerak, dan lain-lain. Artinya, dimensi material dari “ruang” merupakan titik awal yang relevan bagi kejadian realitas sosial.
Sama dengan realitas sosial lainnya, “ruang” bukan semata-mata sebuh wujud obyektif. Keobyektifannya terbentuk secara (inter) subjektif, kematerialannya bisa bermakna khusus bagi dan ditanggapi secara berbeda oleh setiap individu (subyekvitas terbatas) walaupun ia bisa saja disepakati oleh beberapa individu (inter-subjektivitas). Walaupun merupakan panggung material dan obyektif dari hubungan-hubungan sosial,”ruang sosial” dengan satu dan lain jalan memperoleh bentuk inter-subyektif dalam konteks pengalaman orang (warga) yang terorganisasi secara sosial (banjar; subak, desa, komunitas adat, RT/RW, daerah, pulau, negara, dan lain-lain).
Maka, panggung dari hubungan-hubungan sosial ini bukan bebas nilai. Dalam kenyataannya ia adalah suatu kematerialan yang sarat dengan aneka ragam nilai, suatu titik rujukan bagi orientasi sehari-hari, suatu kerangka yang punya kekuatan afektif dari lambang yang beraksi sebagai katalis identitas (lorongku, kampong halamanku,”my home”, daerahku, ranahku, pulauku, tanah airku).
Jadi, “tempat berpijak di bumi”, walaupun dalam artian dimensi material dari “ruang”, sebagai pelengkap dari “ruang sosial”, bukan merupakan sesuatu yang berbeda di luar manusia, tetapi suatu realitas pada mana orang merasa tergolong dan yang identitasnya tempat yang aman dan damai, tempat yang menjanjikan, tempat beristirahat di hari tua tidak bisa dipisahkan dari kehadirannya dan terlepas sama sekali dari tanggapan orang luar, sebagaimana tercermin dalam ungkapan “right or wrong my country”.
Dimensi non-material menganggap suatu “tempat alami” sebagai “ruang sosial” pada saat is mulai memegang peran dalam oembentukan suatu masyarakat, misalnya, keinginan untuk membudidayakan daerah pesisir dengan usaha ekonomis tertentu (tambak udang, pantai wisata, dan lain-lain) atau, sebaliknya, tekad desa adat untuk melestarikan hutan adatnya.
Dengan perkataan lain, “kealaman” tempat menjadi “kesosialan” ruang, begitu is menjadi obyek dari suatu interprestasi tertentu, diberikan tujuan tersendiri dan, karena itu, ditata serta diletakkan di dalam sebuah konteks spesifik. Dengan demikian, tidak hanya kerja dan pikiran manusia yang menyosialisasikan ruang alami dengan membentuk ruang sosial secara material. Representasi ruang ini sudah merupakan semacam denaturalisasi sejauh reprenstasi tersebut menafsirkan adopsi sosial dari “ruang” melalui imajinasi masyarakatnya, di mana pikiran tidak lagi hnya berfungsi di dalam otak individu, tetapi di dalam dan melalui jaringan hubungan antar individu.
Dengan demikian, “ruang social” ini bukanlah merupakan suatu ruang abstrak yang lazim dalam paparan sosiologis Durkheimian. Ia adalah suatu ruang hidup manusia yang konkret, yang diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas khusus, berskala local atau nasional. Maka, secara filosofis, pembangunan dalam artian social ini diformulasikan sebagai suatu “gerakan komunitas” yang tak kunjung usai, selama proses di mana komunitas yang bersangkutan menjadi lebih adil secara ekonomis dan politis, lebih akseptabel secara manusiawi bagi para warganya. Lebih-lebihlagi, ide pembangunan ini tidak mengabstrakkan bumi tempat berpijak di mana drama kehidupan terjadi sehari-hari dengan segala suka dan dukanya.
Kondisi ketiga tidak meyakinkan bahwa adanya, kurang menimbulkan kepercayaan publik. Betapa tidak, PBB telah menunjuk seorang utusan khusus yang dipercayainya untuk menjadi koordinator dalam mengatur bantuan kemanusiaan pada tahapan tanggap darurat.
Pemerintah telah menugaskan Menko Kesra dan Menteroi Sosial berada di lapang guna mengawasi langsung jalannya rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Namun, sanpai kapan mereka “bermikim” di sana? Menteri-menteri datang dan pergi, kemudian membuat pernyataan temtang rencana kerja departemen masing-masing, secara tersendiri, terpisah-pisah satu dengan lainnya. Mana konsep keseluruhan pembangunan di mana jelas terpampang kaitan kerja antardepartemen?
Dana bantuan dikumpulkan oleh berbagai pihak, tetapi ke mana atau pada siapa dipusatkan keseluruhan dana yang terkumpul? Siapa yang paling berhak untuk menyalurkn dana, untuk menetapkan prioritas penggunaan dana, dan untuk memutuskan siapa yang oantas menjadi penerima dana? Apakah setiap pihak pengumpul dana, yang adalah aneh, atau pemerintah yang seharusnya begitu. Namun, kalau pemerintah, instansi resmi yang mana?
DI tahun 1950-an dahulu, Provinsi Aceh telah memelopori pembentukan lembaga pembangunannya sendiri, yaitu Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah” (Bappeda) sebagai mitra kerja Bappenas di daerahnya. Ternyata kinerja lembaga ini begitu efektif, dengan segala kekurangannnya sehingga kemudian dijadikan “model” bagi pendirian bappeda di daerah lain.
Maka, ada baiknya Bappeda Aceh ini dihidupkan lagi, ditetapkan menjadi otoritas pembangunan kembali Aceh, dan tentu dengan semua kewenangan memutuskan dan bertindak yang diperlukan bagi keberhasilan kerjanya. Kalau perlu, libatkan lagi tokoh, intelektual, dan akademisi Aceh yang dahulu pernah mengabdi di Bappeda, yang telah membuktikan kemampuan kerja yang bisa diandalkan walaupun dengan fasilitas ketika itu yang serba terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar