Sabtu, 05 Juni 2010

YACOB MOCA; TOKOH LINGKUNGAN HIDUP

Nama dan sosok Yacob Moca tidak asing lagi ditelinga Rakyat Alor. Selain ketokohannya di bidang pendidikan dan bidang politik praktis, mantan anggota DPRD Alor ini juga telah dikenal luas berbagai kalangan sebagai lelaki baja yang berjuang keras menghijaukan Alor dengan mengembangkan tanaman cendana, yang kini menjadi ikon NTT. Bila kita memasuki Kota Kalabahi, dan bertanya tentang ketokohan Yacob Moca, maka banyak masyarakat, baik guru, aktivis LSM, parpol dan warga masyarakat tentu mengenal nama lelaki yang pernah menerima penghargaan dari Citra Mandiri Indonesia ini.

Figur Yacob Moca yang akrab dengan wartawan ini, lahir di Alor. Dia adalah buah cinta dari Yoseph Moka dan Agustina Moka. Suami dari Yance Moka dan ayah dari, Gerson Moca, Nilo Agustina Moka, Leti Moka ini menikah pada tahun 1968 di Kalabahi-Alor. Yacob masuk Sekolah Rakyat (SR) Adang dan tamat pada tahun 1956. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru Besar (SGB) dan tamat tahun 1960 dan terus melangkah ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG/KPG) pada tahun 1970, kemudian ke Sekolah Tinggi Ilmu Hukum dan meraih gelar sarjana hukum. Bekal pengalaman organisasi mulai ditorehnya pada tahun 1963, ketika itu ia bergabung dengan GAMKI. Dan kemudian menjadi anggota Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada tahun 1970. Kariernya diorganisasi politik makin melejit ketika ia terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1973, ketika Parkindo lebur ke PDI pada tahun 1973. Jabatan politik di PDI hanya bertahan hingga tahun 1984. Yacob kemudian masuk menjadi anggota Golkar hingga tahun 1999 lalu berhenti dan menjadi Ketua DPK Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Kabupaten Alor yang kemudian berubah nama pada pemilu 2004 menjadi PKPI. Jabatan terakhir di pentas politik Alor yang tengah diemban sekarang adalah menjadi kader dan anggota Partai Demokrat Kabupaten Alor.

Selain berpengalaman luas di bidang politik praktis, Yacob setelah menamatkan pendidikannya, telah merintis karier menjadi guru pada tahun 1973, namun kemudian diberhentikan karena keterlibatannya menjadi pengurus PDI yang waktu itu sangat dibenci oleh Golkar. Dia pernah menjadi Kepala Desa Persiapan tahun 1997, anggota DPR PDI ada tahun 1971-1977 dan setelah itu pernah menjadi anggota DPRD Alor dari PKP/PKPI pada tahun 1999-2004.

Kariernya bukan hanya itu saja, dia juga merupakan pendiri Gereja Seideon-Weleng-Kokal, Kelurahan Adang. Pendiri Sekolah Rakyat GMIT Vilial-Kokal pada tahun 1963, yang kemudian berubah menjadi SD Anglawening dan akhirnya dijadikan sekolah negeri pada tahun 1964. Setelah mendirikan dan menjadi guru di SD itu, ia kemudian pindah ke SD GMIT Mebung pada tahun 1965 dan mendirikan SD Puleleng, dan kemudian pindah ke SD GMIT Omtel-Kekenerlang pada tahun 1968.Pada tahun 1997 dia juga mendirikan lagi SD Ladung dan Gereja Ladung.

Aktivitasnya dalam bidang lingkungan hidup dimulai pada tahun 1987. Saat itu, dia mulai membentuk Kelompok Tani Karya Delima dan membentuk Kelompok Tani Hutan Uhe Doi-Adang. Inisiatifnya membentuk kelompok tani itu, agar dapat melakukan reboisasi dihutan Ule yang saat itu gersang. Luas lahan itu sekitar 20-an hektar. Kemudian hutan itu diperluas menjadi 50 hektar dan khusus ditanami tanaman Cendana. Selain tanaman itu, dilahan seluas 50 hektar itu juga ditanami tanaman komoditi lainnya, seperti kemiri, coklat, kopi, cengkeh dan lain-lain. Semua anakan cendana, dia meminta bantuan dari pemerintah. Kemudian bibit cendana didatangkan dari Soe-TTS, yang lainnya dicarinya sendiri dengan cara swadaya.
Di sela-sela bibit tanaman cendana, ditanami tanaman tumpang sari, seperti ubi-ubian dan juga jagung. Dia hanya memberi petunjuk pada kelompok taninya tanpa ada biaya sepeser pun.

Dia merasa beryukur pada pemerintah karena memberikan lahan untuk mereka dengan catatan tidak boleh dirusak dan tidak boleh ditanami padi-padian. “Oleh pemerintah, kami diwajibkan untuk menjaga kawasan hutan itu, tidak boleh merusaknya, baik dengan cara tebas bakar dan menebang pohon-pohon di kawasan itu. Sebelumnya, saya berusaha memindahkan kelompok masyarakat yang berdiam di kawasan hutan itu ke tampat pemukiman baru di perkampungan Ifanglee. Alasannya, jika mereka terus tinggal dikawasan hutan itu, maka mereka tetap terkurung. Anak mereka tidak bisa mengenyam pendidikan, mereka akan diserang penyakit malaria dan lain-lain karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, saya juga berjuang memindahkan mereka agar anak-anak bisa sekolah dan mereka dapat diperhatikan pemerintah.
Dalam melakukan gerakan penghijauan di kawasan hutan itu, Yacob mengalami berbagai tantangan dan hambatan, yakni banyak orang yang tidak mendukungnya, keterbatasan dana, namun dia tetap berusaha dan berjuang demi kemajuan masa depan generasi akan datang. “Ada masyarakat yang menolak, tak mau dipindahkan, namun karena saya beri pemahaman terus menerus maka mereka terima dan kemudian pindah ke pemukiman baru, yang dibangun sendiri oleh masyarakat, tuturnya.

Saat ini, dikawasan hutan itu tumbuh subur dan lebat dengan tanaman Cendana, yang kini telah menjadi hutan yang rimbun. Cendana yang berhasil hidup dan berkembang ada 8.317 pohon. Itu hasil pertama, sekarang sudah menjadi rimba Cendana. Ukuran terbesar berdiameter 60 m2.

Pernah suatu waktu, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya datang meninjau kawasan hutan
Cendana itu. Dia bertanya kepada saya, kapan mau jual cendana-cendana ini ?
Saya bilang seratus tahun lagi, karena nanti anak cucu saya yang akan menikmatinya, yang saya rasakan hidup saya tidak sia-sia Yang saya rasakan hidup saya tidak sia-sia, saya hidup dan saya bisa buat, tidak ada niat untuk segala macam, hanya rasa kepuasan batin, ungkap Yacob.
Yacob mengajak masyarakat yang seluruhnya adalah petani untuk melestarikan hutan.Ajakannya, mendapat respon positif dari para petani. Masyarakat yang daerahnya menjadi kawasan hutan terbagi dalam tiga kelompok. 1) Kelompok seluruh hak miliknya berada dalam kawasan, 2) kelompok sebagian dalam dan sebagian luar, dan kelompok yang diluar tetap diluar. (ini saat berdirinya Dinas Kehutanan di Kabupaten Alor menetapkan batas kawasan seluas 7.500 hektar)

Dalam melaksanakan kegitannya, kelompok kaum perempuan juga banyak yang terlibat langsung, baik para ibu-ibu, para janda, maupun kaum remaja. Semua mereka bergotong royong gotong-royong, tidak pake upah, hanya mengurusi makanan dan minuman. Mereka bekerjasama saling membantu satu sama lain.
Modal dasar keberhasilannya juga berkat dukungan yang kuat dari kaum perempuan. Semua keberhasilan hanya karena kuatnya rasa kekerabatan, kekeluargaan, serta adanya kepentingan yang sama, tidak semata mata karena tekanan atau arahan Yacob Moca.

Jurnalis Tabloid Alor Pos, Linus Kia, menuturkan bahwa Yacob Moca berkarya dibidang lingkungan hidup, khususnya mengembangkan tanaman cendana sejak tahun 1970-an memulainya dengan mengajak keluarga dan masyarakatnya menanam anakan Cendana di bukit Omtel, yang sejak tahun 2006 sudah mendapat dukungan dari Pemerintah dan Kementerian Kehutanan. Saat ini, kawasan itu menjadi kebun cendana dan tempat wisata bagi tamu atau wisatawan dari luar Alor. Jika dibandingkan dengan Kota Soe, jumlah cendana di Alor sekarang lebih banyak. Salah satu faktor mendukungnya adalah karakter masyarakat yang menanam dan memelihara hingga tanamannya besar. Latar belakangnya karena posisi letak wilayah di kemiringan. Pada tahun 2004, ketika dia menjabat anggota DPRD Kabupaten Alor, sebagian dari uang gajinya dipakai untuk mendukung perjuangannya. Yang menarik adalah kepeloporan dari pelestarian hutan. Selain bertujuan mencegah longsor, tetapi juga untuk melestarikan hutan, mata air dan keseimbangan ekosistem, lanjut Linus sembari menambahkan bahwa berkat jasanya dia akhirnya mendapatkan sertifikasi pembenihan cendana dari kementrian kehutanan.
“Kebanggaan saya, bukan karena saya mendapatkan penghargaan. Sejak awal saya bekerja tidak pernah terbersit dalam hati saya bahwa nanti saya akan menerima hadiah dan penghargaan. Saya hanya meresa bangga kalau apa yang sudah saya rintis terus ditumbuhkemabngkan oleh generasi sat ini, untuk mewudukan citra Alor di NTT, Indonesia dan dunia internasional,”ungkapnya penuh harap.


Laporan: Sil Nusa, KOrnelis Moa Nita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar