Jumat, 04 Juni 2010

Mengapa di tanahku terjadi bencana………

BARANG kali di sana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana. Itu lirik lagu ‘Berita Kepada Kawan’ dari Ebiet G. Ade, yang belakangan ini terdengar hampir setiap hari di televisi dan radio. Lagu yang populer sekitar 27 tahun lalu itu menjadi lagu tema yang mengiringi penayangan selipan atau filler berisi gambar bencana Aceh yang memilukan.
Berita Kepada Kawan termuat di Album Ebiet G. Ade terbitan akhir tahun 1979. Lagu itu diawali dengan lirik ‘Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan/sayang engkau tak duduk di sampingku kawan.............’
Lagu tersebut ditulis Ebiet pada tahun 1979 menyusul terjadinya musibah gas beracun di kawah Sinilia di dataran tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang menewaskan lebih dari seratus orang. Kebetulan Ebiet berasal dari Wonodadi, Banjarnegara.
Ada dua lagu Ebiet yang lain yang juga digunakan sebagai lagu tema filler yaitu ‘Masih Ada Waktu’ dan ‘Untuk Kita Renungkan’.
Kebetulan lagu-lagu tersebut terinspirasi oleh tragedi kemanusiaan di pentas kehidupan alam raya. Untuk Kita Renungkan dibuat Ebiet saat terjadi bencana letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat pada awal tahun 1982. Saat itu dia prihatin karena banyak sumbangan yang tidak sampai ke para korban, dikorup oleh orang-orang yang rakus yang masih beruntung tidak menjadi korban. Kemudian lagu ‘Masih Ada Waktu’ digubah Ebiet sebagai semacam introspeksi diri atas peristiwa tabrakan kereta di Bintaro pada tahun 1988. Lagu-lagu pop itu ditampilkan di luar kapasitasnya sebagai sekedar produk hiburan. Lagu-lagu tidak sedang mengalun sebagai Klangenan. Ia menemukan peran lain di luar hitungan komersial yang melekat pada sebuah karya lagu. Lagu pop diperdengarkan untuk memperkuat makna rangkaian gambar bencana.
“Saya tahu persis itu lagu-lagu saya. Maka waktu saya dengar intro lagu itu saya terus lihat di televisi. Saya ingin menangis sejadi-jadinya saat melihat gambar deretan anak-anak yang menjadi korban, “kata Ebiet G. Ade, tentang penayangan gambar bencana Aceh di sebuah stasiun televisi yang diiringi lagu ciptaannya.
Lagu-lagu tersebut ternyata menembus batas kesesaatan popularitas. Setidaknya, lagu-lagu itu tidak dilupakan orang. Belakangan ini sejumlah toko kaset tampak orang mencari-cari album yang memuat lagu-lagu Ebiet.
Ada makna-makna dalam lirik lagu-lagi itu yang di anggap relevan dengan suasana batin yang sedang melingkupi banyak orang saat ini, yaitu bencana, tragedi dan duka cita. Itulah mengapa lagu-lagu dihadirkan sebagai ‘ruh’ yang diharap menghidupkan tayangan visual seputar bencana.
M. Hasan Amanullah, produser eksekutif News Magazine Metro TV menuturkan, bagaimana ia harus mencari lagu tema untuk filler pertama tentang bencana Aceh. Metro TV menerima gambar pertama tentang bencana Aceh pada Minggu malam, 26 Desember 2004. hasan yang ditugaskan membuat filler teringat pada lagu ‘Untuk Kita Renungkan’ dari Ebiet. Sekedar mengingatkan lagu tersebut memuat lirik.... Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya. Kita mesti tabah menjalani.’
“Kuncinya, lagu tema untuk filler harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, isi lagu harus sesuai tema filler. Kedua, lagu tersebut harus dikenal publik,”kata Hasan Amanullah.
Lirik-lirik lagu Ebiet dianggap mempertegas realitas yang teruju dalam gambar yang disampaikan sejumlah stasiun televisi, seperti Metro TV, Trans TV. Lirik Berita Kepada Kawan yang berbunyi Kawan Coba Dengar Apa Jawabnya ketika Dia Ku Tanya mengapa, Bapak Ibunya Telah Lama Mati, Ditelan Bencana Tanah Ini, seperti mendapat bentuk visualnya. Begitu juga sebaliknya, citra bencana dalam gambar itu seperti mendapat format auditif pada lagu Ebiet. Belakangan sering seiring perkembangan situasi di wilayah bencana, Metro TV membuat filler lain dengan tema yang berbeda. Muncullah kemudian sejimlah filler, berikut lagu tema masing-masing Metro TV cukup jeli memilih lagu yang liriknya senapas dengan tema gambar filler.
Tersebutlah He Ain’t Heavy (He My Brother) dari The Hollies yang liriknya berbicara tentang rasa tulus dan tanggung jawab untuk menolong seorang kawan, saudara. Ada pula If We Hold on Togetherdari Diana Ross yang bertutur seputar kekuatan dari kebersamaan. Ada juga Dust in the Wind dari kansas yang liriknya antara lain menyebut all we are is dust in the wind-‘kita hanyalah debu di udara’.
Ketika kehidupan mulai menggeliat di kawasan bencana, SCTV juga mengubah atmosfer penayangan. SCTV kemudian menampilkan lagu Titik Nadir ciptaan Franky Sahilatua.
“Filler dan lagu tema kami sesuaikan dengan arah berita. Kini kami mengajak kita semua untuk bangkit dari titik nadir. Kami lalu meminta Franky Sahilatua untuk membuat lagu,” kata R Nurjaman, produser eksekutif dari SCTV.

SELAIN lagu Ebiet, diputar juga lagu Badai Pasti Berlalu ciptaan Eros Djarot yang dibawakan Berlian Hutauruk dengan iringan keyboards Yockie Suryoprayogo. Lagu tersebut populer pada tahun 1977 sebagai soundtrack film teguh karya, Badai Pasti Berlalu. Lagu tersebut ditampilkan sebagai lagu tema suguhan berita Metro TV yang mulai menunjukkan geliat kehidupan Aceh pascabencana. Sebelumnya stasiun televisi itu menampilkan tema “Indonesia Menangis”.
Lagu yang semula bertutur tentang kebangkitan dari kepeduhan cinta itu kini menemukan bentuk barunya, yaitu sebagai peniup semangat optimisme setelah bencana.
“badai yang dulu lebih ke kepedihan cinta. Badai yang sekarang juga tentang kepedihan cinta, tapi cinta yang lebih universal,”kata Yockie Suryoprayogo yang menggarap aransemen Badai Pasti Berlalu versi lama dan baru.
“Kini saya terbawa ke suasana yang lebih dramatik. Kaidah pop menjadi nomor sekian, dan Berlian juga bernyanyi dengan lebih keras dan tegas dalam arti tidak mendayu-dayu,”ujar Yockie.
Selain lagu lama sejumlah lagu juga bermunculan sebagai respon atas bencana Aceh. Proses lahirnya lagu dari tingkat peneyangan berlangsung cepat. Misalnya, lagu Titik Nadir dari Franky Sahilatua yang ditampilkan di SCTV.
“Pagi kami minta Franky (Sahilatua) membuat lagu dan sorenya lagu sudah siap. Dan, hari berikutnya sudah tayang,” kata Nurjaman produser dari SCTV tentang lagu Titik Nadir ciptaan Franky Sahilatua.
Begitu juga Chossy Pratama menulis Indonesia Menangis yang dibawakan Sherina.
“Saya melihat berita bencana itu Senin malam jam setengah dua belas. Sejak itu saya tidak bisa tidur, pikiran saya tak karuan merenungkan bencana itu. Saya mau menuliskan dalam bentuk lagu, tapi susah sekali keluarnya,” kata Chossy, mantan personel pendukung band Rhapsodia yang kini dikenal sebagai penggarap lagu tema sinetron itu.
Selasa pagi 28 Desember 2004, dengan spontan dan lancar dia menulis lagu. Malam harinya lagi itu dikirim ke Metro TV dan pada Rabu pagi lagu itu telah ditayangkan. Lagu kemudian direvisi dengan menampilkan vokal sherina yang belakangan sering terdengar menyertai filler.

BAGI seniman, munculnya lagu-lagu mereka di televisi sama sekali tak berkait dengan popularitas ataupun perhitungan komersial. Yockie mengaku upayanya tampil dengan Berlian Hutauruk lewat lagu ciptaan Eros Djarot itu seata sebagai bentuk kepedulian seniman terhadap nasib korban bencana. Bagi Ebiet, kalau toh diperdengarkan, biarlah lagu itu muncul dalam konteks untuk membangkitkan rasa empati dan simpati banyak orang agar tulus membantu korban.
“Ini bukan kebanggaan, tapi malah beban psikologis. Moga-moga tidak ada lagi peristiwa yang besar yang menimpa kita dan lagu-lagu itu tidak diputar lagi”kata Ebiet dengan suara tersendat-sendat haru.
Apa pun, lagu-lagu pop yang sering diperlakukan sebagai produk klangengan itu diam-diam telah menjadi semacam soundtrack kehidupan. Orang berpaling pada lagu Imagine-nya John Lennon manakala rasa damai manusia dilecehkan oleh kekerasan ciptaan manusia. We Are the World ciptaan Michael Jackson dan Lionel Ritchie itu dinyanyikan orang ketika orang perlu mengulurkan kasih untuk orang lain yang menderita. Lagu pop itu dengan cara bersahabat seperti mengingatkan akan adanya ketidakberesan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Lagu itu menyapa dengan cara bersahaja.
Belakangan lirik lagu Ebiet kembali memang didengar orang. Lirik seperti Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa kembali singgah di telinga.
“Harapan saya lagu-lagu itu menjadi pelajaran yang berharga, setidaknya bagi saya sendiri dan keluarga,”kata Ebiet tanpa bermaksud menggurui siapa pun dengan lagunya.
Tapi, apakah bangsa ini mau belajar pada pengalaman yang terjadi di depan mata. Untuk urusan satu ini sebaiknya kita tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.....


FX Sartono
Minggu, 9 Januari 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar