Jumat, 04 Juni 2010

Pendidikan darurat pasca-bencana

KONFLIK politik dan bencana alam memperarah situasi krisis dan penderitaan berkepanjangan di Aceh. Kita masih ingat, sebelum bencana, pembakaran sejumlah sekolah di Aceh akibat konflik politik. Kini gelombang tsusami menyapu dan meluluhlantakkan sejumlah sekolah dan menghancurkan system pendidikan.
Anak-anak selalu menjadi korban utama dalam konflik politik maupun bencana alam. Dunia pendidikan kita, yang dalam keadaannormal masih carut marut jika dilihat dari sudut manajerial, kini kian kacau dan tidak tahu lagi harus berbuat apa saat menghadapi krisis dan darurat akibat bencana.
Situasi darurat akibat krisis politik dan bencana alam bisa terjadi di mana saja. Maka, dalam pertemuan di Dakar, Senegal, April 2000, Unesco memikirkan dan mempelajari sebuah kerangka kerja bersama bagi kelangsungan pendidikan pada mayarakat yang ditimpa krisis politik maupun bencana. Pembahsan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat dan krisis merupakan pengejawantahan keprihatinan atas Deklerasi Hak-hak Asasi Manusia Universal, terulang dalam pasal 26 Ayat (1), “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan gratis semestinya diberikan pada tingkat dasar atau tingkat paling fundamental. Pendidikan dasar merupakan hal amat esensial dan dilindungi oleh hukum”.
Apa yang menjadi keprihatinan di balik pemikiran untuk mengantisipasi situasi pendidikandarurat dan krisis, entah akibat konflik politik maupun bencana, adalah tetap dijaga dan dihormatinya hak-hak dasar manusia atas pendidikan. Artikel 26 Ayat (1) menegaskan, pendidikan dasar yang tersedia dan dijamin hukum merupakan salah satu langkah nyata atas realisasi hak-hak dasar ini.
Dua sasaran utama menciptakan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat adalah terjaminnya pendidikan bagi semua (education for all) dan promosi pendidikan yang selaras dengan deklarasi hak-hak asasi manusia universal.
Memahami pendidikan sebagai hak fundamental inilah yang biasanya luput dari perhatian banyak orang, staf organisasi kemanusiaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat bencana hebat seperti terjadi di Acehy dan penduduk sepanjang pantai tersapu gelombang. Konsentrasi pada evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan fundamental, seperti bahan makanan, obat-obatan, dan lain-lain membuat lembaga-lembaga kemanusiaan dan pemerintah tidak melihat kepentingan mendesak untuk segera merestorasi akses pendidikan bagi anak-anak yang tertimpa bencana. Mereka lupa, anak-anak bukanlah selimut atau tenda yang bisa disimpan lama sembari menunggu situasi normal untuk memulai kembali kelangsungan pendidikan yang mereka terima. Menunggu sampai situasi normal, baru kemudian memikirkan kelangsungan pendidikan, hanya akan emosisikan mereka sebagai : “generasi yang hilang” dalam struktur dantatanan masyarakat.

Penderitaan ganda
Situasi pendidikan di Aceh mengalami penderitaan ganda. Pertama, system pndidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta.
Penderitaan ganda ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang mereka hadapi dalam kerangka mencari langkah-langkah penyelesaian konflik yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab moral bagi setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah semestinya dihentikan mengingat beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai sasaran krena transportasi masih terputus, maupun ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja. Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi darurat seperti sekarang hanya menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan untuk menghargai martabat kemanusiaan.
Kedua, berhadapan dengan luluh lantaknya sistem pendidikan di Aceh dan daerah lain yang diterjang tsunami, pemerintah bekerja sama dengan LSM-LSM, baik internasional maupun nasional, mesti segera memikirkan kelangsungan pendidikan, terutama bagi anak-anak dengan memerhatikan dimensi psikologi yang mereka alami. Dalam hal ini, menyiapkan para guru yang dibekali pengetahuan psikologis untuk mengenali stuasi kejiwaan anak-anak yang menjadi korban merupakan sebuah kemendesakan.
Membangun kembali prasarana dan sarana pendidikan pasca bencana di satu sisi memberiu semacam keuntungan berupa kesempatan membangun kembali system pendidikan yang menghindari kelemahan dan kesalahan di masa lalu, memnciptakan system pendidikan yang mengharagai harkat kemanusiaan, menciptakan solidaritas dan harmoni yang memecah akar-akar konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah kesempatan untuk merekonseptuaalisasi kurikulum dan metode dalam kerangka jangka panjang berdasar kebutuhan nyata siswa, termasuk memperkuat system formasi penagajar dengan memberi berbagai macam pelatihan yang dibutuhkan.
Memberi beasiswa bagi pelajar korban atau memindahkan mereka ke sekolah lain merupakan usaha yang patut dihargai, tetapi tetap bukan perwujudan adanya rasa krisis (sense of crisis) dan penghargaan bagi siswa yang menjadi korban bencan, mengingat situasi psikologis yang mereka alami begitu traumatis di man program pendidikan nasional yang diterapkan dalam situasi normal amat jauh dari apa yang mereka butuhkan.
Program pendidikan nasional tidak dapat diterapkan dalam situasi pendidikan darurat seperti terjadi di Aceh dan daerah bencana lain. Inilah yang harus diingat dan diperhatikan sebelum mengambil langkah-langkah penyelamatan atas kelangsungan pendidikan anak-anak korban bencana.
Tanggapan terhadap situasi pendidikan darurat sering fragmentaris karena adanya berbagai macam kesulitan di lapangn maupun dalam kerangka pemberian kewenangan. Utuk kasus Aceh, sudah semestinya pemerintah membuka akses sebesar-besarnya bagi lembaga internasional, seperti Unesco, agar mereka mapu bekerja sama dengan LSM-
LSM local maupun nasional dalam membangun kembali dunia pendidikan di Aceh.
Sementara itu, sudah merupakan condition sine qua non untuk mengatasi kendala yang bersifat politis, terlebih dalam menghentikan konflik bersenjata, membangun jalur dialog antara pihak pemerintah dan kelompok bersenjata di Aceh untuk menghentikan perang, dan turun tangan secara bersama-sama dalam menciptakan masa depan yang lebih baik yang menghormati kemartabatan sesame manusia.

Mencipatakan kesadaran baru
Menyadari kemendesakan untuk segera membangun kembali situasi pendidikan di Aceh merupakan langkah awal yang baik guna memulai sebuah masyarakat baru yang menghargai hak-hak dasar manusia, seperti tercantum dalam deklarasi hak-hak asasi manusia universal dan UUD 1945 dalam kerangka pendidikan, terutama hak tiap orang untuk mengenyam pendidikan yang layak, apapun situasi yang sedang mereka hadapi. Untuk ini, kepentingan politik, semestinya mengatasi kepentingan mendesak para korban yang kemanusiaannya diinjak-injak entah karena situasi politik sebelum maupun sesudah bencana.
Semoga kesadaran baru seperti ini merupakan langkah awal yang baik untuk menata kembali puing-puing reruntuhan system pendidikan di daerah-daerah yang terkena bencana, terutama di Aceh, yang hari-hari ini menjadi semakin istiewa. Sebab, bencana Aceh tak hanya mengabarkan duka di setiap keluarga umat manusia,tetapi sebuah momen kelahiran bagi sebuah solidaritas umat manusia universal yang mengatasi sekat-sekat agama, terlebih sekat-sekat politik yang selama ini ,membuat masyarakat Aceh terpuruk dalam lembah duka lara tiada tara.***


Doni Koesoemo A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar